MENAMPILKAN
KEPRIBADIAN
AKHLAK
MULIA
Oleh: Siti Herawati
A.
PENDAHULUAN
Akhlak mulia merupakan perilaku umat manusia
yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits yaitu adab sopan santun yang
dicontohkan dan diajarkan Rasulullah SAW.
Namun, apa sajakah akhlak mulia yang dicontohkan dan
diajarkan Rasulullah SAW., Al-Qur’an memberi
gambaran, tentang itu.
Berdasarkan firman Allah antara lain: 1. QS. Al-Ahzab/33:22
dari kata صدق. 2. QS. Al-Ahzab/33:72 dari kata أمنة. 3. QS. Al-Maidah/5:67 dari kata بلغ أوالتبليغ . 4. QS. Ali-Imran/3:7 dari kata حجاتنا أوالفطانة.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an di
atas, “Menampilkan Kepribadian Akhlak Mulia” dirumuskan sbb: pertama, Mengapa
jujur dapat menambah keimanan dan kepatuhan manusia kepada Allah?. Kedua,
Siapa yang menyanggupi untuk menerima amanat dari Allah?. Ketiga,
Apa yang harus disampaikan Rasulullah kepada manusia?. Keempat, Bagaimana
caranya agar kita cerdas dalam mengetahui ayat yang muhkamat dan mutasyabihat?.
Berikut tafsir ayat-ayat Al-Qur’an-nya:
B.
TAFSIR AYAT-AYAT AL-QUR’AN
1.
Akhlak Mulia Jujur Menambah Keimanan
Kata صدق yang berarti jujur merupakan salah satu akhlak mulia yang di miliki oleh
Nabi Muhammad SAW. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia agar
meneladani Nabi SAW. dalam peristiwa
al-Ahzab yaitu kesabaran, kejujuran, upaya, dan penantiannya atas jalan keluar
yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla.[1]
Allah maha benar dan Rasul sangat jujur dalam tanda-tanda dan bukti-bukti
kemenangan itu.[2]
Tatkala orang-orang mukmin
melihat tentara sekutu, mereka berkata: “inilah yang dijanjikan Allah dan
Rasul-Nya kepada kita ! Benarlah (Jujurlah) Allah dan Rasul-Nya !” itulah yang
menambah keimanan dan kepatuhan mereka.[3]
Pada ayat yang lain diterangkan syarat-syarat kebahagiaan dan kemenangan yang
akan diperoleh orang-orang yang beriman. Allah SWT berfirman:
احسب الناس ان يتركوآان
يقولوآامناوهم لايفتنون
Artinya : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (Saja) mengatakan ‘kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji
(lagi). (Al-‘Ankabut, 29:2)”. [4]
Sesungguhnya benarlah (jujurlah) yang dijanjikan Allah itu dengan meluaskan
Agama Islam ke seluruh penjuru dunia di kemudian hari, dan benar pula apa yang
diisyaratkan Allah untuk mencapai kemenangan dan kebahagiaan itu, yaitu
bertawakkal dan sabar dalam menerima cobaan dan halangan.[5]
Ketika orang-orang mu’min yang
benar (Jujur) dan ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dalam perkataan
maupun perbuatan, melihat kedatangan golongan-golongan bersekutu yang banyaknya
luar biasa serta dapat mengguncangkan hati.[6]
Sungguh Nabi Muhammad sangat jujur dalam segala hal terutama mengenai Amanat
Allah SWT.
2.
Kesanggupan Memikul Amanat Allah
Amanat adalah segala sesuatu yang dipercayakan kepada
seseorang baik berupa perintah maupun larangan, tentang urusan-urusan agama dan
dunia.[7]
Pemikulan amanat berupa beban
kewajiban oleh anak Adam itu tiada lain agar Allah mengazab anak Adam yang
munafik, baik laki-laki maupun perempuan.[8]
Sesungguhnya amanat itu sangat besar, namun manusia telah menyatakan kesanggupan
memikulnya. Padahal, manusia sangat kecil tubuhnya, sedikit kekuatannya, lemah
usahanya, terbatas umurnya, serta diliputi dan digelorakan oleh syahwat, nafsu,
libido, kecenderungan, dan ketamakan.[9]
Beban-beban agama disebut amanat, karena merupakan hak-hak yang diwajibkan oleh
Allah atas orang-orang mukallaf dan dipercayakan kepada mereka agar
dilaksanakan dan diwajibkan atas mereka agar diterima dengan penuh kepatuhan
dan ketaatan, bahkan mereka disuruh menjaga dan melaksanakannya tanpa
melalaikan sedikit pun dari padanya.[10]
Bumi, langit dan gunung-gunung
yang begitu besar dan perkasa, tidak bersedia menerima tanggung jawab agama,
karena khawatir tidak akan mampu melaksanakannya, tetapi manusia yang bertubuh
kecil dan lemah menyanggupi. Kalau tanggung jawab amanat itu tidak terlaksana,
jelas manusia itu akan disiksa oleh Tuhan.[11]
Kemudian Allah SWT menerangkan pula akibat dari beban-beban tersebut dengan
firman-Nya :
ليعذب الله المنفقين والمنفقت والمشركين والمشركت ويتوب الله على المؤمنين
والمؤمنت .
Dan sebagai akibat dari manusia
menanggung amanat tersebut, maka Allah mengazab siapa yang berkhianat terhadap
amanat tersebut, dan tidak mau taat serta tunduk kepada-Nya, yaitu orang-orang
yang munafik, baik laki-laki maupun perempuan. Namun Allah tetap menerima
taubat dari orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, apabila mereka
kembali kepada-Nya dan bertaubat. Karena mereka memang dilanda kebodohan yang
terlanjur mereka lakukan dan tidak mengetahui tentang akibatnya. Hanya saja
mereka kemudian mau bertaubat.[12]
Maka dengan bertaubatlah kebahagiaan akan didapatkan, kebahagiaan diperoleh
dengan cara melaksanakan amanat Allah untuk beribadat kepada Allah dengan penuh
keikhlasan.[13] Amanat
yang diperintahkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. harus disampaikan kepada
manusia tanpa ada yang harus disembunyikan.
3.
Menyampaikan Perintah Allah
Kata بلغ أوالتبليغ yang berarti menyampaikan. QS.
Al-Maidah ayat 67 ini adalah perintah yang pasti kepada Rasulullah SAW. untuk menyampaikan
apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya secara utuh. Jangan sampai beliau
memperhitungkan apa pun di dalam menyampaikan kalimat kebenaran ini. Apabila
beliau tidak menyampaikannya, berarti beliau tidak menunaikan tugas risalah.
Allah akan senantiasa memelihara dan melindungi beliau dari segala gangguan
manusia.[14]
Kalimat kebenaran mengenai akidah
tidak perlu disembunyikan. Ia harus disampaikan secara lengkap dan jelas.
Biarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menentangnya, dan apa yang
dilakukan oleh orang-orang yang memusuhinya. Karena, kalimat kebenaran mengenai
akidah tidak perlu membujuk-bujuk hawa nafsu dan mencari-cari simpati. Adapun
yang penting adalah ia disampaikan hingga sampai ke dalam hati dengan kuat dan
mantap.[15]
Pada
ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menyampaikan apa yang
telah diturunkan kepadanya tanpa menghiraukan besarnya tantangan di kalangan
Ahli Kitab orang musrik dan orang-orang fasik.[16]
Sesungguhnya ketegasan dan kepastian di dalam menyampaikan kebenaran tentang
akidah ini bukan berarti kasar dan keras.[17]
Allah Ta’ala berfirman sambil mengkhitabi hamba dan Rasul-Nya Muhammad SAW.
dengan ungkapan “rasul” dan menyuruhnya supaya menyampaikan seluruh perkara
yang dibawanya dari Allah. Dan, Nabi SAW. telah melaksanakan perintah itu dan
menjalankan risalah dengan sempurna. Sehubungan dengan penafsiran ayat ini,
Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. dia berkata (128), “Barangsiapa yang
menceritakan kepadamu bahwa Muhammad menyembunyikan sesuatu dari apa yang
diturunkan Allah kepadanya maka sungguh berdustalah orang itu”. Dan Dia
berfirman, ‘Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu.’ Demikianlah bunyi hadits ini secara ringkas. Hadits ini
dikemukakan oleh Bukhari-Muslim dalam Shahihain-Nya secara panjang.[18] Dalam menyampaikan sebuah
risalah kita harus cerdas dalam menyikapi sebuah ayat.
4.
Cerdas dalam mengetahui ayat yang
muhkamat dan mutasyabihat
Orang-orang yang mendalam
ilmunya, yang mengetahui lapangan akal dan tabiat pikiran manusia serta
batas-batas lapangan yang dapat dikerjakannya dengan alat-alat yang diberikan
kepadanya.[19]
Menurut tafsir Ibnu Katsir para ulama ber-ikhtilaf
ihwal ayat muhkam dan mutasyabih.[20]
Sedangkan menurut tafsir Al-Qur’an dan Tafsirnya pada ayat ini Allah SWT
menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan-Nya itu di dalamnya ada ayat-ayat
yang Muhkamat dan ada yang Mutasyabihat. “Ayat yang Muhkamat” ialah ayat yang
jelas artinya, seperti ayat-ayat hukum, dan sebagainya. “Ayat Mutasyabihat”
ialah ayat yang tidak jelas artinya, yang dapat ditafsirkan dengan
bermacam-macam penafsiran seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal
yang ghaib dan sebagainya. Ayat-ayat Muhkamat dapat diketahui dengan mudah arti
dan maksudnya sedang ayat-ayat yang mutasyabihat itu ialah ayat-ayat yang sukar
diketahui arti dan maksudnya yang sebenarnya hanyalah Allah SWT yang
mengetahuinya tentang tujuan Allah menurunkan ayat-ayat Mutasyabihat itu.[21]
Menurut sebagian para mufassir ialah:
- Untuk menguji iman dan keteguhan hati
seseorang muslim kepada Allah, iman yang benar hendaklah disertai dengan
penyerahan diri dalam arti yang seluas-luasnya kepada Allah SWT. Allah SWT
menurunkan ayat-ayat yang dapat dipikirkan artinya dengan mudah dan Dia
menurunkan ayat-ayat yang sukar diketahui makna dan maksud yang
sebenarnya, yaitu ayat-ayat yang Mutasyabihat ini, manusia akan merasa
bahwa dirinya bukanlah makhluk yang sempurna. Ia hanya diberi Allah
pengetahuan yang sedikit karena itu ia akan menyerahkan pengertian
ayat-ayat itu kepada Allah SWT Yang Maha Mengetahui.[22]
- Dengan adanya ayat-ayat yang Muhkamat dan
Mutasyabihat itu kaum muslimin akan berfikir sesuai dengan batas-batas
yang diberikan Allah; ada yang dapat dipikirkan secara mendalam dan ada
pula yang sukar dipikirkan, lalu diserahkan kepada Allah.[23]
- Para Nabi dan para Rasul diutus kepada seluruh
manusia yang keadaannya berbeda-beda, misalnya : berbeda kepandaiannya,
kemampuannya dan kekayaannya; berbeda pula bangsa, bahasa dan daerahnya.
Karena itu cara penyampaian agama kepada mereka itu hendaklah disampaikan
dengan tingkatan keadaan mereka itu dan dengan tingkatan bahasa yang
sesuai dengan kemampuan mereka; ada yang mudah dipahami dan ada yang sukar
dipahami. Yang mudah untuk orang yang kurang mempunyai ilmu, sedang yang
sukar untuk orang yang dalam ilmunya. [24]
Dialah yang menurunkan kitab Al-Qur’an kepada
Muhammad. Di antaranya ada ayat-ayat yang tandas tegas a). Itulah pokok isi
Al-Qur’an. Yang lainnya adalah ayat-ayat yang samar. b). Kurang tegas Adapun
orang-orang yang di dalam hatinya ada maksud-maksud yang tidak jujur, selalu
mengikuti ayat-ayat samar untuk mengadakan kehebohan dengan memberikan
tafsiran-tafsiran yang diselewengkan. Padahal tidak ada yang dapat memberikan
tafsirannya, hanya Allah saja. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan
dengan terus terang: "kami percaya kepada kitab, semuanya itu datang dari
Tuhan kami”. Hanya orang-orang yang berpikir saja yang dapat mengerti.
Sudah sepatutnya umat islam berkewajiban memiliki
Akhlak Mulia yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW. Akhlak mulia itu meliputi
Shidiq, Amanat, Tabligh, dan Fatonah. Agar keempat akhlak mulia itu dapat
dipahami dan diaplikasikan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari, maka perlu
dibuat kesimpulannya.
C.
KESIMPULAN
1.
Tatkala orang-orang mukmin melihat tentara sekutu,
mereka berkata: “inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita !
Benarlah (Jujurlah) Allah dan Rasul-Nya !” itulah yang menambah keimanan dan
kepatuhan mereka.
2.
Sesungguhnya amanat itu sangat besar, namun manusia
telah menyatakan kesanggupan memikulnya. Padahal, manusia sangat kecil
tubuhnya, sedikit kekuatannya, lemah usahanya, terbatas umurnya, serta diliputi
dan digelorakan oleh syahwat, nafsu, libido, kecenderungan, dan ketamakan.
3.
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya
menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya tanpa menghiraukan besarnya
tantangan di kalangan Ahli Kitab orang musrik dan orang-orang fasik.
4.
Para Nabi dan para Rasul diutus kepada seluruh
manusia yang keadaannya berbeda-beda, misalnya : berbeda kepandaiannya,
kemampuannya dan kekayaannya; berbeda pula bangsa, bahasa dan daerahnya. Karena
itu cara penyampaian agama kepada mereka itu hendaklah disampaikan dengan
tingkatan keadaan mereka itu dan dengan tingkatan bahasa yang sesuai dengan
kemampuan mereka; ada yang mudah dipahami dan ada yang sukar dipahami. Yang
mudah untuk orang yang kurang mempunyai ilmu, sedang yang sukar untuk orang
yang dalam ilmunya.
REVERENSI
1.
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha
Putra Semarang, Cetakan Pertama, 1989
2.
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha
Putra Semarang, Cetakan Kedua, 1991
3. Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Cetakan
Pertama
4. Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Cetakan
Ke 2
5. Drs.HM.Sonhadji, Al-Qur’an dan Tafsirnya,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995
6. Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Jakarta: Gema Insani Press, 2000
7. Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta:
Gema Insani, 2004 Jilid 6
8.
Sayyid
Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta:
Gema Insani, 2004 Jilid 2
[1] Muhammad Nasib
ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani
Press, 2000 h. 841.
[3] Bachtiar
Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, h. 929.
[6] Ahmad Mustafa
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang,
Cetakan Pertama, 1989 h. 278.
[8] Muhammad Nasib
ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani
Press, 2000 h. 910.
[10] Ahmad Mustafa
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang,
Cetakan Pertama, 1989 h. 77.
[12] Ahmad Mustafa
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang,
Cetakan Pertama, 1989 hlm 79.
[14] Sayyid Quthb,
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, Jilid 6 hlm 131.
[17] Sayyid Quthb,
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, Jilid 6 hlm 132.
[18] Muhammad
Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 2000 Jilid 2 hlm 123.
[20] Muhammad Nasib
ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani
Press, 2000 h. 482.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar