Selasa, 09 Januari 2018

Akhlak Mulia

MENAMPILKAN KEPRIBADIAN
AKHLAK MULIA
Oleh: Siti Herawati
A.           PENDAHULUAN
Akhlak mulia merupakan perilaku umat manusia yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits yaitu adab sopan santun yang dicontohkan dan diajarkan Rasulullah SAW. Namun, apa sajakah akhlak mulia yang dicontohkan dan diajarkan Rasulullah SAW., Al-Qur’an memberi gambaran, tentang itu.
Berdasarkan firman Allah antara lain: 1. QS. Al-Ahzab/33:22 dari kata صدق. 2. QS. Al-Ahzab/33:72 dari kata   أمنة. 3. QS. Al-Maidah/5:67 dari kata  بلغ أوالتبليغ . 4. QS. Ali-Imran/3:7 dari kata  حجاتنا أوالفطانة.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas, “Menampilkan Kepribadian Akhlak Mulia” dirumuskan sbb: pertama, Mengapa jujur dapat menambah keimanan dan kepatuhan manusia kepada Allah?. Kedua, Siapa yang menyanggupi untuk menerima amanat dari Allah?. Ketiga, Apa yang harus disampaikan Rasulullah kepada manusia?. Keempat, Bagaimana caranya agar kita cerdas dalam mengetahui ayat yang muhkamat dan mutasyabihat?. Berikut tafsir ayat-ayat Al-Qur’an-nya:

B.            TAFSIR AYAT-AYAT AL-QUR’AN
1.        Akhlak Mulia Jujur Menambah Keimanan
Kata صدق yang berarti jujur merupakan salah satu akhlak mulia yang di miliki oleh Nabi Muhammad SAW. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia agar meneladani Nabi SAW. dalam  peristiwa al-Ahzab yaitu kesabaran, kejujuran, upaya, dan penantiannya atas jalan keluar yang diberikan oleh Allah Azza wa Jalla.[1] Allah maha benar dan Rasul sangat jujur dalam tanda-tanda dan bukti-bukti kemenangan itu.[2]
Tatkala orang-orang mukmin melihat tentara sekutu, mereka berkata: “inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita ! Benarlah (Jujurlah) Allah dan Rasul-Nya !” itulah yang menambah keimanan dan kepatuhan mereka.[3] Pada ayat yang lain diterangkan syarat-syarat kebahagiaan dan kemenangan yang akan diperoleh orang-orang yang beriman. Allah SWT berfirman:
احسب الناس ان يتركوآان يقولوآامناوهم لايفتنون
Artinya : “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (Saja) mengatakan ‘kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji (lagi). (Al-‘Ankabut, 29:2)”. [4] Sesungguhnya benarlah (jujurlah) yang dijanjikan Allah itu dengan meluaskan Agama Islam ke seluruh penjuru dunia di kemudian hari, dan benar pula apa yang diisyaratkan Allah untuk mencapai kemenangan dan kebahagiaan itu, yaitu bertawakkal dan sabar dalam menerima cobaan dan halangan.[5]
Ketika orang-orang mu’min yang benar (Jujur) dan ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dalam perkataan maupun perbuatan, melihat kedatangan golongan-golongan bersekutu yang banyaknya luar biasa serta dapat mengguncangkan hati.[6] Sungguh Nabi Muhammad sangat jujur dalam segala hal terutama mengenai Amanat Allah SWT.

2.        Kesanggupan Memikul Amanat Allah
Amanat adalah segala sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang baik berupa perintah maupun larangan, tentang urusan-urusan agama dan dunia.[7] Pemikulan amanat berupa beban kewajiban oleh anak Adam itu tiada lain agar Allah mengazab anak Adam yang munafik, baik laki-laki maupun perempuan.[8] Sesungguhnya amanat itu sangat besar, namun manusia telah menyatakan kesanggupan memikulnya. Padahal, manusia sangat kecil tubuhnya, sedikit kekuatannya, lemah usahanya, terbatas umurnya, serta diliputi dan digelorakan oleh syahwat, nafsu, libido, kecenderungan, dan ketamakan.[9] Beban-beban agama disebut amanat, karena merupakan hak-hak yang diwajibkan oleh Allah atas orang-orang mukallaf dan dipercayakan kepada mereka agar dilaksanakan dan diwajibkan atas mereka agar diterima dengan penuh kepatuhan dan ketaatan, bahkan mereka disuruh menjaga dan melaksanakannya tanpa melalaikan sedikit pun dari padanya.[10]
Bumi, langit dan gunung-gunung yang begitu besar dan perkasa, tidak bersedia menerima tanggung jawab agama, karena khawatir tidak akan mampu melaksanakannya, tetapi manusia yang bertubuh kecil dan lemah menyanggupi. Kalau tanggung jawab amanat itu tidak terlaksana, jelas manusia itu akan disiksa oleh Tuhan.[11] Kemudian Allah SWT menerangkan pula akibat dari beban-beban tersebut dengan firman-Nya :
ليعذب الله المنفقين والمنفقت والمشركين والمشركت ويتوب الله على المؤمنين والمؤمنت .
Dan sebagai akibat dari manusia menanggung amanat tersebut, maka Allah mengazab siapa yang berkhianat terhadap amanat tersebut, dan tidak mau taat serta tunduk kepada-Nya, yaitu orang-orang yang munafik, baik laki-laki maupun perempuan. Namun Allah tetap menerima taubat dari orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, apabila mereka kembali kepada-Nya dan bertaubat. Karena mereka memang dilanda kebodohan yang terlanjur mereka lakukan dan tidak mengetahui tentang akibatnya. Hanya saja mereka kemudian mau bertaubat.[12] Maka dengan bertaubatlah kebahagiaan akan didapatkan, kebahagiaan diperoleh dengan cara melaksanakan amanat Allah untuk beribadat kepada Allah dengan penuh keikhlasan.[13] Amanat yang diperintahkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. harus disampaikan kepada manusia tanpa ada yang harus disembunyikan.

3.        Menyampaikan Perintah Allah
Kata  بلغ أوالتبليغ yang berarti menyampaikan. QS. Al-Maidah ayat 67 ini adalah perintah yang pasti kepada Rasulullah SAW. untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya secara utuh. Jangan sampai beliau memperhitungkan apa pun di dalam menyampaikan kalimat kebenaran ini. Apabila beliau tidak menyampaikannya, berarti beliau tidak menunaikan tugas risalah. Allah akan senantiasa memelihara dan melindungi beliau dari segala gangguan manusia.[14]
Kalimat kebenaran mengenai akidah tidak perlu disembunyikan. Ia harus disampaikan secara lengkap dan jelas. Biarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menentangnya, dan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang memusuhinya. Karena, kalimat kebenaran mengenai akidah tidak perlu membujuk-bujuk hawa nafsu dan mencari-cari simpati. Adapun yang penting adalah ia disampaikan hingga sampai ke dalam hati dengan kuat dan mantap.[15]
  Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya tanpa menghiraukan besarnya tantangan di kalangan Ahli Kitab orang musrik dan orang-orang fasik.[16] Sesungguhnya ketegasan dan kepastian di dalam menyampaikan kebenaran tentang akidah ini bukan berarti kasar dan keras.[17] Allah Ta’ala berfirman sambil mengkhitabi hamba dan Rasul-Nya Muhammad SAW. dengan ungkapan “rasul” dan menyuruhnya supaya menyampaikan seluruh perkara yang dibawanya dari Allah. Dan, Nabi SAW. telah melaksanakan perintah itu dan menjalankan risalah dengan sempurna. Sehubungan dengan penafsiran ayat ini, Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. dia berkata (128), “Barangsiapa yang menceritakan kepadamu bahwa Muhammad menyembunyikan sesuatu dari apa yang diturunkan Allah kepadanya maka sungguh berdustalah orang itu”. Dan Dia berfirman, ‘Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.’ Demikianlah bunyi hadits ini secara ringkas. Hadits ini dikemukakan oleh Bukhari-Muslim dalam Shahihain-Nya secara panjang.[18] Dalam menyampaikan sebuah risalah kita harus cerdas dalam menyikapi sebuah ayat.

4.        Cerdas dalam mengetahui ayat yang muhkamat dan mutasyabihat
Orang-orang yang mendalam ilmunya, yang mengetahui lapangan akal dan tabiat pikiran manusia serta batas-batas lapangan yang dapat dikerjakannya dengan alat-alat yang diberikan kepadanya.[19]
Menurut tafsir Ibnu Katsir para ulama ber-ikhtilaf ihwal ayat muhkam dan mutasyabih.[20] Sedangkan menurut tafsir Al-Qur’an dan Tafsirnya pada ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan-Nya itu di dalamnya ada ayat-ayat yang Muhkamat dan ada yang Mutasyabihat. “Ayat yang Muhkamat” ialah ayat yang jelas artinya, seperti ayat-ayat hukum, dan sebagainya. “Ayat Mutasyabihat” ialah ayat yang tidak jelas artinya, yang dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam penafsiran seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib dan sebagainya. Ayat-ayat Muhkamat dapat diketahui dengan mudah arti dan maksudnya sedang ayat-ayat yang mutasyabihat itu ialah ayat-ayat yang sukar diketahui arti dan maksudnya yang sebenarnya hanyalah Allah SWT yang mengetahuinya tentang tujuan Allah menurunkan ayat-ayat Mutasyabihat itu.[21] Menurut sebagian para mufassir ialah:

  1. Untuk menguji iman dan keteguhan hati seseorang muslim kepada Allah, iman yang benar hendaklah disertai dengan penyerahan diri dalam arti yang seluas-luasnya kepada Allah SWT. Allah SWT menurunkan ayat-ayat yang dapat dipikirkan artinya dengan mudah dan Dia menurunkan ayat-ayat yang sukar diketahui makna dan maksud yang sebenarnya, yaitu ayat-ayat yang Mutasyabihat ini, manusia akan merasa bahwa dirinya bukanlah makhluk yang sempurna. Ia hanya diberi Allah pengetahuan yang sedikit karena itu ia akan menyerahkan pengertian ayat-ayat itu kepada Allah SWT Yang Maha Mengetahui.[22]
  2. Dengan adanya ayat-ayat yang Muhkamat dan Mutasyabihat itu kaum muslimin akan berfikir sesuai dengan batas-batas yang diberikan Allah; ada yang dapat dipikirkan secara mendalam dan ada pula yang sukar dipikirkan, lalu diserahkan kepada Allah.[23]
  3. Para Nabi dan para Rasul diutus kepada seluruh manusia yang keadaannya berbeda-beda, misalnya : berbeda kepandaiannya, kemampuannya dan kekayaannya; berbeda pula bangsa, bahasa dan daerahnya. Karena itu cara penyampaian agama kepada mereka itu hendaklah disampaikan dengan tingkatan keadaan mereka itu dan dengan tingkatan bahasa yang sesuai dengan kemampuan mereka; ada yang mudah dipahami dan ada yang sukar dipahami. Yang mudah untuk orang yang kurang mempunyai ilmu, sedang yang sukar untuk orang yang dalam ilmunya. [24]
Dialah yang menurunkan kitab Al-Qur’an kepada Muhammad. Di antaranya ada ayat-ayat yang tandas tegas a). Itulah pokok isi Al-Qur’an. Yang lainnya adalah ayat-ayat yang samar. b). Kurang tegas Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada maksud-maksud yang tidak jujur, selalu mengikuti ayat-ayat samar untuk mengadakan kehebohan dengan memberikan tafsiran-tafsiran yang diselewengkan. Padahal tidak ada yang dapat memberikan tafsirannya, hanya Allah saja. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan dengan terus terang: "kami percaya kepada kitab, semuanya itu datang dari Tuhan kami”. Hanya orang-orang yang berpikir saja yang dapat mengerti. 
Sudah sepatutnya umat islam berkewajiban memiliki Akhlak Mulia yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW. Akhlak mulia itu meliputi Shidiq, Amanat, Tabligh, dan Fatonah. Agar keempat akhlak mulia itu dapat dipahami dan diaplikasikan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari, maka perlu dibuat kesimpulannya.

C.           KESIMPULAN
1.      Tatkala orang-orang mukmin melihat tentara sekutu, mereka berkata: “inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita ! Benarlah (Jujurlah) Allah dan Rasul-Nya !” itulah yang menambah keimanan dan kepatuhan mereka.
2.      Sesungguhnya amanat itu sangat besar, namun manusia telah menyatakan kesanggupan memikulnya. Padahal, manusia sangat kecil tubuhnya, sedikit kekuatannya, lemah usahanya, terbatas umurnya, serta diliputi dan digelorakan oleh syahwat, nafsu, libido, kecenderungan, dan ketamakan.
3.      Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya tanpa menghiraukan besarnya tantangan di kalangan Ahli Kitab orang musrik dan orang-orang fasik.
4.      Para Nabi dan para Rasul diutus kepada seluruh manusia yang keadaannya berbeda-beda, misalnya : berbeda kepandaiannya, kemampuannya dan kekayaannya; berbeda pula bangsa, bahasa dan daerahnya. Karena itu cara penyampaian agama kepada mereka itu hendaklah disampaikan dengan tingkatan keadaan mereka itu dan dengan tingkatan bahasa yang sesuai dengan kemampuan mereka; ada yang mudah dipahami dan ada yang sukar dipahami. Yang mudah untuk orang yang kurang mempunyai ilmu, sedang yang sukar untuk orang yang dalam ilmunya.

REVERENSI

1.      Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, Cetakan Pertama, 1989
2.      Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, Cetakan Kedua, 1991
3.      Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Cetakan Pertama
4.      Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Cetakan Ke 2
5.      Drs.HM.Sonhadji, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995
6.      Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
7.      Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004 Jilid 6
8.      Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004 Jilid 2





[1] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 2000 h. 841.
[2] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, h. 57.
[3] Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, h. 929.
[4] Drs.HM.Sonhadji, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995 h. 745.
[5] Ibid
[6] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, Cetakan Pertama, 1989 h. 278.
[7] Ibid., h. 77.
[8] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 2000 h. 910.
[9] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, h. 139.
[10] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, Cetakan Pertama, 1989 h. 77.
[11] Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, h. 929
[12] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, Cetakan Pertama, 1989 hlm 79.
[13] Drs.HM.Sonhadji, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995 hlm 50.
[14] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, Jilid 6 hlm 131.
[15] Ibid
[16] Drs.HM.Sonhadji, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995 h. 486.
[17] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, Jilid 6  hlm 132.
[18] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 2000 Jilid 2 hlm 123.
[19] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, h. 49.
[20] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 2000 h. 482.
[21] Drs.HM.Sonhadji, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995 h. 515.
[22] Drs.HM.Sonhadji, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995 h. 515.
[23] Ibid., h. 516.
[24] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Keimanan

                                                                  Pengertian Iman Kata Iman berasal dari  bahasa Arab  yang artinya...