A.
Pengertian
Iman, Islam dan Ihsan
1.
Hadist
Tentang Iman, Islam dan Ihsan
عن أبي هريرة (ض) قال كان النبي (ص) بارزا
يوما للناس فأته جبريل فقال ما الإيمان؟ قال الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه
وبلقائه ورسوله وتؤمن بالبعث. قال ما الإسلام؟ قال الإسلام أن تعبد الله ولا تشرك
به شيئا وتقيم الصلاة وتؤدي الزكة الفروضة وتصوم
رمضان. قال ما الإحسان؟ قال أن تعبد الله كأنك تراه, فإن لم تكن تراه فإنه
يراك . قال متى االساعة؟ قال ما المسؤل
عنها بأعلم من السائل و سأخبرك عن أشراطها إذا ولدت الأمة ربها وإذا تطاول رعاة
الإبل البهم في البنيان في خمس لا يعلمها إلا الله ثم تلا النبي (ص) (إن عند الله
علم الساعة) الآية ثم أدبر فقال ردوه فلم يروا شيئا فقال هذا جبريل جاء يعلم الناس
دينهم قال أبو عبد الله جعل ذلك كله من الإيمان
“Dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu ia berkata pada suatu hari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam
sedang tampak di hadapan orang-orang, tiba-tiba datang kepadanya seorang pria
dan bertanya, ‘Apakah artinya Iman?’ Rasulullah menjawab ‘Iman ialah percaya
kepada Allah, kepada malaikat-Nya, Rasul-Nya, dan kepada kebangkitan.’
Kemudian orang tersebut kembali bertanya ‘Apa artinya Islam?’ Rasuullah
menjawab ‘Islam yaitu menyembah Allah dan tidak mempersekutukannya,
menegakkan sholat, membayar zakat, dan puasa Ramadhan.’ Lalu dia kembali
bertanya ‘Apakah artinya Ihsan?’ Rasulullah menjawab ‘Ihsan ialah menyembah
Allah seolah-olah engkau melihat Dia. Biarpun engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihat engkau.’ Orang tersebut bertanya lagi ‘kapankah
hari kiamat?’ Nabi menjawab ‘Orang yang bertanya tidak lebih mengetahui
daripada orang yang bertanya, tapi akan kuteragkan tanda-tandanya, yaitu apabila
budak perempuan melahirkan majikannya, apabila pengembala unta telah
bermegah-megah dalam gedung yang indah mewah, dan kiamat adalah salah satu dari
5 rahasia Allah yang hanya dia yang mengetahuinya.’ Kemudian rasulullah
membaca ‘Hanya Allah yang mengetahui hari kiamat.’ Setelah itu orang
tersebut pergi. Maka Nabi bersabda ‘ panggillah dia kemali’ akan tetapi mereka
tidak melihatnya lagi. Rasulullah kemudian bersabda ‘itu lah jibril, dia
mengajarkan Agama kepada umat manusia.”
2. Pengertian
Iman
Iman
menurut bahasa yakin, sedangkan menurut syari’at keyakinan yang kokoh akan
keberadaan Allah ta’ala sebagai pencipta dan bahwa dial ah satu-satunya
dzat yang berhak diibadahi.
Dan Ahlus Sunnah berkeyakinan, iman adalah
perkataan, perbuatan, dan niat (kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal
perbuatan termasuk ke dalam nama iman. [Qawaid wa fawaid arbain nawawiyah hal
38].
Iman dapat bertambah dan berkurang. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لِيَزْدَادُوا
إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ
”Supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)…” (Q.S.
Al Fath : 4).
Keutamaan orang mukmin juga bertingkat-tingkat.
Termasuk di antaranya perkataan sebagian ulama : “Tidaklah Abu Bakar mendahului
kalian (dalam tingkatan ini) dengan banyaknya puasa, tidak juga banyaknya
shalat, akan tetapi dia mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di dalam
hatinya”.
Iman juga memiliki rukun-rukun. Siapapun yang
meyakini, maka ia akan selamat dan beruntung. Barangsiapa yang menentangnya,
maka ia akan sesat dan merugi.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبْلُۚ وَمَن
يَكْفُرْ بِا للَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ
ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Wahai
orang-orang mukmin, berimanlah kepada Allah, RasulNya, kitab suci yang telah
diturunkan kepada RasulNya (Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam ) dan
kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur kepada Allah,
malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya dan hari Kiamat, maka
sungguh ia benar-benar tersesat.” (Q.S. An Nisaa` : 136).
3.
Pengertian
Islam
Secara bahasa, Islam berarti
tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun secara
istilah, disebutkan :
Islam adalah patuh dan tunduk
kepada Allah dengan cara mentauhidkan, mentaati dan membebaskan diri dari
kemusyrikan dan ahli syirik. [Syarah Tsalatsatil ushul, syaikh Ibn ‘Utsaimin
hlm. 68-69]
Islam adalah agama yang dilandaskan atas lima
dasar, yaitu :
1.
Mengucapkan
dua kalimat syahadat
) أَشْهَدُ أَنْ لَاإِله
إِلاَّالله وَأَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ الله), artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang
berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan Aku bersaksi
bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan
Allah.
2.
Menunaikan
shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan
adab dan hal-hal yang sunnah.
3.
Mengeluarkan
zakat.
4.
Puasa
pada bulan Ramadhan.
5.
Haji
sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci
dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
Kelima rukun tersebut merupakan amal
lahiriah sebagai perwujudan dari makna Islam itu sendiri, yaitu kepasrahan diri
secara total kepada Allah. Artinya, kepasrahan sebagai makna Islam tidak hanya
disimpan dalam hati, melainkan diwujudkan lewat perbuatan nyata yaitu kelima
rukun Islam tersebut.
4.
Pengertian Ihsan
Ihsan adalah ikhlas dan penuh perhatian. Artinya, sepenuhnya ikhlas
untuk beribadah hanya kepada Allah dengan penuh perhatian, sehingga seolah-olah
engkau melihatNya. Jika engkau tidak mampu seperti itu, maka ingatlah bahwa
Allah senantiasa melihatmu dan mengetahui apapun yang ada pada dirimu.
Sabda Rasulullah ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendefinisikan kata ihsan “engkau menyembah Allah seolah-olah
melihatNya dan seterusnya” mengisyaratkan, bahwa seorang hamba menyembah Allah
dalam keadaan seperti itu. Berarti, ia merasakan kedekatan Allah dan ia berada
di depan Allah seolah-olah melihatNya. Hal ini menimbulkan rasa takut, segan
dan mengagungkan Allah, seperti dalam riwayat Abu Hurairah: “Hendaknya engkau
takut kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya”.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik
dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah
Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia
melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah
derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi
semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada
Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya,
oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya
maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu
menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq
Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara
lahir maupun batin.
B.
Hubungan dan Tahapan Iman,
Islam dan Ihsan
1.
Hubungan
Iman dan Islam
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan : Pembedaan antara islam dan iman. Ini terjadi apabila kedua-duanya
disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan
amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan
hati, akan tetapi bila disebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau
iman saja) maka sudah mencukupi yang lainnya. Seperti firman Allah Ta’ala “ Dan Aku telah ridho islam menjadi agama
kalian.” ( al-Maidah : 3 )maka kata Islam disini sudah mencakup
islam dan iman (Ta’liq syarah Arba’in hlm.17).
2.
Hubungan
Iman Islam dan Ihsan
Islam, Iman adalah Ihsan adalah
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah
keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan
melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam
dilakukan dengan cara ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.
Untuk mempelajari ketiga pokok
ajaran agama tersebut, para ulama mengelompokkannya lewat 3 cabang ilmu
pengetahuan. Rukun Islam berupa praktek amal lahiriah disusun dalam ilmu Fiqh,
yaitu ilmu mengenai perbuatan amal lahiriah manusia sebagai hamba Allah. Iman
dipelajari melalui ilmu Tauhid (teologi) yang menjelaskan tentang pokok-pokok
keyakinan. Sedangkan untuk mempelajari ihsan sebagai tata cara beribadah adalah
bagian dari ilmu Tasawuf.
Berdasarkan nash-nash dalam
Al-Quran dan As-Sunnah, maka ibadah mempunyai 3 tingkatan, yang pada setiap
tingkatan derajatnya seorang hamba tidak akan dapat mengukurnya. Karena itulah,
kita berlomba-lomaba untuk meraihnya, pada setiap derajat ada tingkatan
tersendiri dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat muhsinin, dan ia akan
menemoati jannatul firdaus, derajat tertinggi dalam surga. Kelak penghuni surge
tingkat bawah akan memandangi penghuni surga-surga tingkat atas, laksana
penduduk bumi memandangi bintang-bintang di langit yang menandakan betapa
jauhnya jarak antara mereka. Adapun 3 tingkatan tersebut adalah sebagai
berikut:
a.
Tingkat At-Taqwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang
berbeda-beda
b.
Tingkat Al-Bir, yaitu tingkat menengah dengan derajat yang
berbeda-beda
c.
Tingkat Al-Ihsan, yaitu tingkat paling atas dengan derajat yang
berbeda-beda
3.
Muslim,
Mu’min dan Muhsin
Oleh karena itulah para ulama’ menyatakan bahwa
setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman
sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan
amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min,
karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini
keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan
anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min
dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang
Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah
beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al
Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang
memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang
lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi
dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah
ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh
Sholih Fauzan, hlm. 64).
Maka dengan demikian jelaslah hubungan diantara
ketiganya, dan bagi kita hendaknya bisa menjadi orang yang muslim haqiqi, bisa
menjalankan semua perintah Allah ta’ala yang wajib maupun yang sunnah serta
menjauhi larangan-larangannya. Mengimani apa saja yang wajib ia imani. Wallahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar