BAB
I
PEMBAHASAN
A. Karakteristik
Akidah Islam
1.
Aqidah Tauqifiyah (عقيدة توقيفية )
Aqidah Tauqifiyah, yakni bahwa dalam beraqidah dan
memahami aqidah islam, kita wajib berhenti dan membatasi diri pada batas-batas
ketetapan wahyu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shaih saja. Kita tidak dibenarkan
mengedepankan dan mendominankan peran penalaran akal dan logika dalam berakidah
dan memahami akidah islam.
2.
Aqidah Ghaibiyah (عقيدة غيبية)
Aqidah Ghaibiyah, yakni bahwa muatan dan esensi aqidah
islam itu didominasi oleh keimanan kepada yang gahib. Yang dimaksud dengan
istilah ghaib dalam keimanan islam disini bukanlah “ghaib” versi dunia dukun
dan paranormal, yang dibatasi pada keghaiban alam jin saja, dan hanya terkait
dengan hal-hal yang selalu berbau mistik. Namun, yang dimaksud degan istilah
ghaib menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah ialah yang meliputi semua yang ada di
balik alam nyata, yang tidak bisa ditangkap oleh kemampuan alami indra manusia,
dan bahkan tidak mampu dijangkau oleh penalaran akal dan logika.
3.
Aqidah Syumuliyah (عقيدة شملية)
Aqidah Syumuliyah, yakni aqidah yang lengkap,
sempurna, menyeluruh, komprehensif dan integral, yaitu aqidah dengan makna yang
mencakup dan meliputi keseluruhan pokok, prinsip-prinsip dan rukun-rukun
keimanan dengan segala konsekuensinya sebagai satu kesatuan yang tidak bisa
dipisah-pisahkan satu sama lain. Sehingga seandainya ada seorang muslim yang
telah menyatakan menerima dan mengimani semua isi dan konsekuensi rukun-rukun
iman tersebut, kecuali ada 1%-nya saja misalnyaatau bahkan kurang dari itu yang
tidak ia imani dengan penuh kepahaman kesadaran dan kesengajaan, maka seluruh
keimanannya yang 99% itu bisa menjadi sia-sia.
B. Penyebab Akhlak
Buruk
Faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada
umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama aliran Nativisme.
Kedua, aliran Empirisme, dan ketiga aliran Konvergensi.
1.
Nativisme
Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari
dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain.
Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik,
maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.[1]
Sebaliknya, jika seseorang memiliki kecenderungan kepada yang buruk, maka
dengan sendirinya orang tersebut menjadi buruk.
Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi
batin yang ada dalam diri manusia. Aliran ini tampak kurang menghargai atau
kurang memperhitungkan peranan pembinaan dan pendidikan.
2.
Empirisme
Menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu
lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan.[2]
jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan kepada anak itu buruk, maka buruklah
pula anak itu. Aliran ini tampak begitu yakin bahwa akhlak buruk seorang anak
ditentukan oleh faktor lingkungan.
3.
Konvergensi
Dalam aliran konvergensi akhlak dipengaruhi oleh
faktor internal yaitu pembawaan si anak, dan faktor eksternal yaitu pendidikan
dan pembinaan yang dibuat secara khusus atau melalui interaksi dalam lingkungan
sosial.
Aliran ini tampaknya sesuai dengan ajaran islam. Hal
ini dapat dipahami dari ayat dan hadis di bawah ini:
والله
اخر جكم من بطون امهتكم لا تعلمون شيئاوجعل لكم السمع والابصاروالافئدة لعلكم
تشكرون (النحل : 78)
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Nahl, 78)
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki
potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari.[3]
Kesesuaian teori konvergensi tersebut, juga sejalan dengan hadis Nabi yang
berbunyi:
كل
مولود يولدعلى الفطرةفابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه (رواه البخارى)
Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa)
fithrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang
tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi. (HR.
Bukhari).
Ayat dan hadis tersebut di atas selain menggambarkan
adanya teori konvergensi juga menunjukan dengan jelas bahwa pelaksana utama
dalam pendidikan akhlak adalah kedua orang tua.[4]
Orang tuanyalah yang dapat menjadikan anaknya menjadi yahudi, nasrani atau
majusi. Dengan kata lain, orang tua berperan penting dalam penentuan akhlak
buruk seorang anak. Tidak hanya orang tua, bahkan lingkungan sekitar pun
mempengaruhi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa aklak buruk seseorang
ditentukan oleh faktor internal yang disebabkan karena Keadaan Iman, Bisikan
nafsu-syaitan, Makanan dan Minuman Haram. Dan faktor eksternal yang disebabkan
oleh lingkungan dan pergaulan.
C. Dampak Buruknya
Akhlak
1.
Akhlaqul Madzmumah
Kepada Allah SWT
Dalam
rangka menghambakan diri secara total kepada Allah SWT, kita wajib
berakhlaqul-karimah kepada-Nya dan jangan sampai membiasakan akhlaqul madzmumah
kepada-Nya.[5] Adapun
bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk perbuatan akhlaqul madzmumah kepada Allah
SWT. antara lain meliputi pokok-pokok sebagai berikut:
a.
Enggan
mengenali-Nya dengan baik dan benar
b.
Mendustakan
firman-Nya
c.
Membangkang
perintah dan melanggar larangan-Nya
d.
Melupakan-Nya
e.
Enggan memuji-Nya
f.
Menduakan-Nya
g.
Berprasangka buruk
kepada-Nya
h.
Mengingkari
Nikmat-Nya
i.
Terlalu percaya
diri
j.
Berputus harapan
kepada-Nya
2.
Akhlaqul Madzmumah
Terhadap Sesama Manusia
Akhlaqul
madzmumah terhadap sesama manusia pada prinsipnya ialah pembiasaan perbuatan
yang tidak tepat dalam menempatkan diri di tengah-tengah komunitas manusia,
khususnya dilihat dari kacamata islam. Sehingga harus ditinggalkan sejauh
mungkin oleh setiap muslim.[6]
Adapun bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk perbuatan akhlaqul madzmumah
kepada sesama manusia antara lain meliputi pokok-pokok sebagai berikut:
a.
Mendustakan Para
Ulama
b.
Durhaka Kepada
Kedua Orang Tua
c.
Membangkang
terhadap Ulil Amri
d.
Tidak menghormati
yang Tua, tidak menyayangi yang Muda
e.
Tidak menghargai
Teman Sejawat
f.
Mengabaikan pihak
yang lemah
g.
Tidak menghormati
tetangga dan tamu
h.
Tidak menghargai
lawan jenis
i.
Tidak waspada saat
bergaul dengan non-muslim
3.
Akhlaqul Madzmumah
Terhadap Dirinya Sendiri
a.
Tidak memiliki
teman
b.
Terganggu psikisnya
Ali
bin Abi Thalib r.a berkata :
“Tidak
ada ketenangan bagi para pendengki, tidaklah memiliki teman orang yang cepat
bosan, dan tidaklah ada yang menyukai orang yang buruk akhlaknya”.
4.
Akhlaqul Madzmumah
Terhadap Alam
Akhlaqul
madzmumah terhadap makhluk lain selain manusia yang harus kita jauhi, pada
prinsipnya ialah ketidaktepatan kita dalam menempatkan makhluk
lain
itu pada posisinya masing-masing.[7]
Adapun bentuk nyatanya antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
Semena-mena
terhadap binatang
b.
Merusak
tumbuh-tumbuhan dan alam sekitar
D. Penanggulangan
Terhadap Akhlak Buruk
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama
dalam islam. Perhatian islam yang demikian terhadap pembinaan akhlak dapat
dilihat dari perhatian islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan
daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir
perbuatan-perbuatan yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah
menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia, lahir dan
batin.[8]
Pembinaan akhlak dalam islam juga terintegrasi dengan pelaksanaan rukun islam.
1.
Implementasi Rukun
Islam Dalam Penanggulangan Akhlak Buruk
a.
Mengucapkan dua
kalimat Syahadat
Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa selama
hidupnya manusia hanya tunduk kepada aturan dan tuntutan Allah. Orang yang
tunduk dan patuh pada aturan Allah dan Rasul-Nya sudah dapat dipastikan akan
menjadi orang yang baik.[9]
b.
Mengerjakan Shalat
lima waktu
Shalat yang dikerjakan akan membawa pelakunya
terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar. Shalat dapat menghasilkan akhlak
yang mulia, yaitu bersikap tawadlu, mengagungkan Allah, berzikir, membantu
fakir miskin, ibn sabil, janda dan orang yang mendapat musibah.
Selain itu shalat (khususnya jika dilaksanakan
berjamaah) menghasilkan serangkaian perbuatan seperti kesahajaan, imam dan
ma’mum sama-sama berada dalam satu tempat, tidak saling berebut jadi imam, jika
imam batal dengan rela untuk digantikan yang lainnya, selesai shalat saling
berjabat tangan, dan seterusnya. Semua ini mengandung ajaran akhlak.
c.
Zakat mengandung
didikan akhlak
Orang yang melaksanakannya dapat membersihkan dirinya
dari sifat kikir, mementingkan diri sendiri, dan membersihkan hartanya dari hak
orang lain, yaitu hak fakir miskin dan seterusnya. Muhammad al-Ghazali
mengatakan bahwa hakikat zakat adalah untuk membersihkan jiwa dan mengangkat
derajat manusia ke jenjang yang lebih mulia.
d.
Ibadah Puasa
Bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum
dalam waktu yang terbatas, tetapi lebih dari itu merupakan latihan menahan diri
dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang.
e.
Ibadah Haji
Dalam ibadah haji ini pun nilai pembinaan akhlaknya
lebih besar lagi dibandingkan dengan nilai pembinaan akhlak yang ada pada
ibadah dalam rukun islam lainnya. Hal ini bisa dipahami karena ibadah haji
ibadah dalam islam bersifat komprehensif yang menuntut persyaratan yang banyak,
yaitu harus menguasai ilmunya, juga harus sehat fisiknya, ada kemauan keras,
bersabar dalam menjalankannya, serta rela meninggalkan tanah air, harta
kekayaan dan lainnya. Hubungan ibadah
haji dengan pembinaan akhlak ini dapat dipahami dari ayat yang artinya sebagai
berikut :
(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor (jorok),
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa
yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah, 197)
Hubungan antara rukun islam terhadap pembinaan akhlak
sebagaimana digambarkan di atas, menunjukan bahwa pembinaan akhlak yang
ditempuh islam adalah menggunakan cara atau sistem yang integrated, yaitu
sistem yang menggunakan berbagai sarana peribadatan dan lainnya secara simultan
untuk diarahkan pada pembinaan akhlak.
2.
Pembiasaan yang
dilakukan sejak kecil
Cara lain yang dapat ditempuh untuk pembinaan akhlak
ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara
terus-menerus. Al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara
melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang
menghendaki agar ia menjadi pemurah, maka ia harus dibiasakan dirinya melakukan
pekerjaan yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi
bi’atnya yang mendarah daging.[10]
Dalam tahap-tahap tertentu, pembinaan akhlak khususnya akhlak lahiriah dapat
pula dilakukan dengan cara paksaan yang kelamaan tidak lagi terasa dipaksa.
3.
Memberikan Tauladan
Cara lain yang tak kalah ampuhnya dari cara-cara di
atas dalam hal pembinaan akhlak ini adalah melalui keteladanan.
4.
Bersikap Tawadu
Selain itu pembinaan akhlak dapat pula ditempuh dengan
cara senantiasa mengaggap diri ini sebagai yang banyak kekurangannya daripada
kelebihannya.
5.
Memperhatikan
Faktor Kejiwaan
Pembinaan akhlak secara efektif dapat pula dilakukan dengan
memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina.[11]
Ajaran akhlak yang diberikan kepada anak-anak dapat disajikan dalam bentuk
permainan karena anak-anak lebih menyukai hal-hal yang bersifat rekreatif dan
permainan.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada
umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama aliran Nativisme.
Kedua, aliran Empirisme, dan ketiga aliran Konvergensi. Dalam aliran
konvergensi akhlak dipengaruhi oleh faktor internal yaitu pembawaan si anak,
dan faktor eksternal yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus
atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Aliran ini tampaknya sesuai
dengan ajaran islam.
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama
dalam islam. Perhatian islam yang demikian terhadap pembinaan akhlak dapat
dilihat dari perhatian islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan
daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir
perbuatan-perbuatan yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah
menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia, lahir dan
batin.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Halim, Nipan Abdul, Menghias Diri
Dengan Akhlak Terpuji, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.
Al-Ghazali, Muhammad, Akhlak Seorang
Muslim, Semarang: Wicaksana, 1993.
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta:
Rajawali Pers, 1992.
[1]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012,
h. 167
[2]
Ibid.
[3]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012,
h. 168
[4]
Ibid, h. 169
[5]
Nipan Abdul Halim, Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2000, h. 154
[6]
Nipan Abdul Halim, Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2000, h. 182
[7]
Nipan Abdul Halim, Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji, Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2000, h. 211
[8]
Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Semarang: Wicaksana, 1993,
h. 13
[9]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012,
h. 160
[10]
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali Pers, 1992, h. 45
[11]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012,
h. 166
Tidak ada komentar:
Posting Komentar